Photo by Pratik Gupta on Pexels.com

Hujan seringkali dianggap cuaca yang menyebalkan. Karena hujan, jemuran tak kering. Karena hujan, sampai di rumah baju basah. Karena hujan, halaman rumah menjadi becek, selokan dan sungai meluap hingga ke jalan. Karena hujan, badan menjadi tak enak dan kedinginan.

Tak hanya itu. Hujan juga kerap dianggap penyebab perasaan menjadi sedih. Hujan menyebabkan seseorang teringat kenangan masa lalu. Tetesannya mendatangkan lamunan tentang peristiwa yang membahagiakan dan kita ulang lagi, atau peristiwa menyedihkan yang tak ingin terjadi lagi. Suasana teduhnya juga mengingatkan akan orang lain yang mungkin dirindukan.

Banyak hal-hal penting yang manusia lalaikan dari cuaca bernama hujan. Fenomena alam ini menyimpan sejuta potensi kekaguman kita terhadap Allah.

وَالَّذِيْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءًۢ بِقَدَرٍۚ فَاَنْشَرْنَا بِهٖ بَلْدَةً مَّيْتًا ۚ كَذٰلِكَ تُخْرَجُوْنَ

“Dan yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).” (QS. Az-Zukhruf: 11)

“Kadar” dalam ayat ini menunjukkan betapa Allah telah menetapkan hujan secara terukur. Misalnya, ukuran tetes hujan selalu dibatasi sampai ukuran tertentu sehingga ketika sampai di permukaan tanah hanya memiliki kecepatan 8-30 km/jam. Bahkan, angka 30 km/jam mungkin terlalu berlebihan. Kombinasi antara gravitasi dan hambatan udara menyebabkan air hujan yang turun membentuk tetesan yang khas dan dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat. Padahal, dengan kecepatan sebesar ini, air hujan selama beberapa jam saja sudah cukup membuat longsor suatu lereng yang rapuh.

Louis Bloomfield, seorang fisikawan Amerika, memperkirakan sebuah pulpen mungkin bisa membunuh seseorang jika dijatuhkan dari gedung Empire State Building setinggi 443 meter itu. “Kecepatannya bisa mencapai 300 km/jam,” katanya. “Saat pulpen itu menyentuh sesuatu di bawah, dia mengenai luas permukaan yang kecil tetapi dengan momentum yang sangat besar. Benda itu akan mampu mencongkel trotoar, dan akan menancap di papan kayu. Anda tidak akan ingin benda itu mengenai kepala Anda,” lanjutnya.

Bagaimana dengan hujan? Alhamdulillah kita tidak perlu lari berlindung darinya. Asalkan bukan hujan badai disertai tornado, asalkan juga daya tahan tubuh kita sedang bagus, berhujan-hujanan tidak akan “mematikan” layaknya pulpen tadi. Bahkan Nabi Muhammad saw pernah menyingkap bajunya dan membiarkan dirinya basah pada suatu saat hujan turun.

“Ketika kami sedang bersama Rasulullah SAW, kami pun kehujanan. Maka Anas pun berkata, “maka Rasulullah SAW menyingkap baju beliau hingga hujan pun mengenai (tubuh) beliau.’ Maka kami pun bertanya, “Mengapa engkau melakukan hal tersebut wahai Rasulullah?” Maka beliau pun menjawab, “Sesungguhnya hujan ini baru saja diciptakan oleh Penciptanya (Allah) Ta’ala.” (H.R Muslim no. 898 dan Abu Dawud no.5100).

Menurut Imam Nawawi, “Hadits ini terdapat dalil bagi pendapat madzhab kami, bahwasanya disunnahkan di awal kali hujan turun untuk menyingkap tubuh selain bagian aurat, agar (air) hujan mengenai dirinya.” (Al Minhaj Syarah Shahih Muslim, 6/196)

Selain itu, Rasulullah saw juga pernah mengajak sahabatnya berwudhu dengan air hujan yang mengaliri suatu lembah.

Apabila air mengalir di lembah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.” (HR. Muslim)

Dengan hujan, Allah memberikan kita kesempatan untuk berdoa. Imam Syafi’I dan Imam Hakim rahimahumallah meriwayatkan dua hadits berbeda yang menyebutkan bahwa saat hujan turun adalah salah satu waktu yang mustajab untuk berdoa.

Sikap Rasulullah saat melihat mendung hujan juga patut diteladani. Diriwayatkan dari istri beliau, ‘Aisyah r.a., ”Nabi saw apabila melihat mendung di langit, beliau beranjak ke depan, ke belakang atau beralih masuk atau keluar, dan berubahlah raut wajah beliau. Apabila hujan turun, beliau mulai menenangkan hatinya. ’Aisyah sudah memaklumi jika beliau melakukan seperti itu. Lalu Nabi saw mengatakan, ”Aku tidak mengetahui apa ini, seakan-akan inilah yang terjadi (pada Kaum ’Aad) sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), ”Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka.” (QS. Al Ahqaf [46] : 24)” (HR. Bukhari)

Ibnu Hajar menjelaskan hadits ini, bahwa hujan mengharuskan kita mengingat-ingat apa yang terjadi pada umat di masa silam dan menjadikan kita selalu hati-hati agar terhindar dari azab yang demikian.

Selain itu, kita juga dilarang untuk mencaci cuaca, atau musim hujan.

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي الأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.” (HR. Bukhari)

Semoga Allah menurunkan kepada kita hujan yang bermanfaat. Allaahumma shayyiban naafi’aa. Aamiin.

-sebagaimana juga dimuat dalam Majalah Pewara Dinamika UNY Edisi Februari 2015-